Jakarta, tiradar.id – Peringatan Hari Tani ke-65 menjadi momentum penting untuk mengingat kembali peran sentral masyarakat desa dalam membangun kemandirian ekonomi nasional. Guru Besar Ekonomi Pertanian Program Studi Agribisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Achmad Tjachja Nugraha, mengajak masyarakat untuk memperkuat modal sosial sebagai strategi kunci dalam memperlambat laju kemiskinan di wilayah pedesaan.
Dalam keterangannya pada Kamis (25/9), Prof. Tjachja menjelaskan bahwa modal sosial mencakup nilai, norma, kepercayaan, serta jaringan hubungan informal antarkelompok masyarakat yang memungkinkan terbentuknya kerja sama demi tujuan bersama. Modal ini, menurutnya, merupakan fondasi yang berkelanjutan dan sesuai dengan semangat Hari Tani.
“Perspektif modal sosial adalah memperkuat kepercayaan, solidaritas, dan institusi lokal seperti kelompok tani. Ini bukan sekadar memperkuat produksi pertanian, tetapi juga menggerakkan roda ekonomi desa,” ujarnya.
Modal Sosial: Pilar Penanggulangan Kemiskinan
Lebih jauh, Prof. Tjachja menekankan bahwa konsep modal sosial mampu menjadi pilar utama dalam penanggulangan kemiskinan struktural, khususnya bagi petani. Ia menyebut bahwa modal sosial dapat menghadirkan refleksi kolektif berupa solidaritas, musyawarah, dan gotong royong yang sejatinya sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
“Modal sosial itu adalah ‘norma’, dan gotong royong adalah pengejawantahan dari sila-sila dalam Pancasila, seperti keadilan sosial dan musyawarah mufakat,” jelasnya.
Ia mencontohkan keberhasilan tradisi Meuseuraya di Aceh—praktik tolong-menolong dalam membangun rumah dan mengolah lahan—yang terbukti efektif saat bencana tsunami melanda pada 2004. Warga dengan cepat membentuk sistem gotong royong sebelum bantuan formal datang.
“Modal sosial seperti ini terbukti ampuh sebagai mekanisme adaptasi, baik terhadap bencana maupun kemiskinan,” katanya.
Peran Strategis Modal Sosial di Dunia Pertanian
Dalam konteks pertanian, Prof. Tjachja menyebut bahwa modal sosial terwujud dalam bentuk kelompok tani, koperasi, lumbung desa, hingga praktik gotong royong saat menanam dan panen. Namun ia mengkritisi pendekatan pembangunan pertanian selama ini yang lebih menitikberatkan pada bantuan fisik seperti benih, pupuk, dan infrastruktur, tanpa memperkuat kelembagaan sosial petani.
“Tanpa kepercayaan dan kolaborasi antarpetani, berbagai bantuan fisik itu seringkali tidak berkelanjutan,” tegasnya.
Sejalan dengan Visi Pembangunan Desa Presiden Prabowo
Lebih lanjut, Prof. Tjachja menyambut baik visi pembangunan desa yang diusung Presiden Prabowo Subianto melalui program Asta Cita, khususnya terkait pembangunan dari desa dan penguatan koperasi merah putih.
Menurutnya, koperasi merupakan bentuk nyata dari modal sosial yang memiliki daya dorong besar dalam penguatan ekonomi lokal. Ia juga menyambut positif keberadaan sekolah rakyat sebagai terobosan penting dalam memberdayakan petani melalui jalur pendidikan.
“Sekolah rakyat itu program luar biasa. Bukan hanya soal pendidikan, tapi juga memberdayakan petani dari akar rumput,” katanya.
Usulan Strategis untuk Pemerintah
Menutup pernyataannya, Prof. Tjachja memberikan masukan kepada pemerintah agar fokus pada penguatan kelembagaan lokal, khususnya di tingkat rumah tangga dan komunitas berbasis komoditas. Ia menyarankan agar program pembangunan pedesaan diarahkan untuk memperkuat jaringan sosial dan partisipasi warga.
“Pembangunan desa sebaiknya menyentuh aspek ekonomi, sosial, dan budaya secara menyeluruh, dengan menempatkan kelembagaan lokal sebagai aktor utama,” pungkasnya.
Penulis: Yuki Ishak