Jakarta, tiradar.id – Pemerintah Indonesia dalam dua tahun terakhir ini tengah aktif melaksanakan upaya transformasi ekonomi digital. Tujuannya tidak hanya untuk mempermudah transaksi masyarakat, tetapi juga untuk memastikan Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara seperti Malaysia dan India sebagai negara berkembang.
Melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI, pemerintah kita telah memperkirakan bahwa nilai ekonomi digital negara kita akan mencapai 360 miliar dolar AS pada tahun 2030.
Mohammad Rudy Salahuddin sebagai Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital Ketenagakerjaan, dan UMKM Kemenko Perekonomian, mengungkapkan disela-sela perhelatan Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) 2023 di Jakarta bahwa nilai ekonomi digital diperkirakan akan meningkat dua kali lipat menjadi 103 miliar dolar AS pada tahun 2025, dan kemudian terus meningkat hingga mencapai 360 miliar dolar AS pada tahun 2030.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi digital oleh pemerintah didasarkan pada banyak data dari berbagai sumber yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi pertumbuhan ekonomi digital yang tinggi dan dapat menjadi salah satu negara ASEAN yang unggul dalam hal ini.
Berdasarkan studi Google Temasek, Bain & Company, ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai 77 miliar dolar AS pada tahun 2022, dengan pertumbuhan sekitar 22 persen. Saat ini, Indonesia juga telah menjadi pemain utama dalam ekonomi digital ASEAN, dengan sekitar 40 persen dari total nilai transaksi ekonomi digital ASEAN berasal dari Indonesia.
Pandemi COVID-19 yang memaksa masyarakat untuk beradaptasi dengan teknologi dapat dianggap sebagai awal mula terjadinya transformasi digital dalam sektor keuangan.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, menilai bahwa potensi tersebut didukung oleh bonus demografi, jumlah perusahaan rintisan (startup) yang berkembang di Indonesia, serta tingkat penetrasi internet yang mencapai 76,8 persen pada tahun 2022.
Namun, mencapai transformasi ekonomi digital secara menyeluruh bukanlah perjalanan yang mudah. Salah satu tantangan utama yang dihadapi saat ini adalah rendahnya literasi keuangan.
Menurut data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia pada tahun 2022 mencapai 49,68 persen. Di sisi lain, indeks inklusi keuangan pada tahun yang sama mencapai 85,10 persen, yang merupakan angka yang cukup tinggi. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan antara tingkat literasi dan tingkat inklusi keuangan sebesar 35,42 persen.
Firlie Ganinduto, Wakil Sekretaris Jenderal II Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), juga berpendapat bahwa literasi keuangan digital masyarakat masih rendah. Kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan tersebut masih belum memadai bagi Indonesia untuk mencapai transformasi ekonomi digital secara sempurna.
Situasi ini menjadi salah satu penyebab masyarakat terjebak dalam pinjaman online (pinjol) tanpa memahami konsekuensinya terlebih dahulu.
Selain itu, belum meratanya infrastruktur digital di Indonesia juga menjadi tugas pemerintah yang perlu diperhatikan.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), sebanyak 84,9 persen dari total 83.218 desa di seluruh Indonesia telah terhubung dengan internet. Namun, 15,1 persen atau 12.548 desa masih belum memiliki akses internet yang memadai. Mayoritas desa yang belum terjangkau digitalisasi terletak di wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T), mencapai 73 persen.
Presiden RI, Jokowi, menyatakan bahwa pemerataan digital merupakan salah satu kunci bagi Indonesia untuk mewujudkan transformasi ekonomi digital dan mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi. Indonesia memiliki potensi besar dalam ekonomi digital, oleh karena itu, diperlukan upaya besar dalam membangun infrastruktur digital.
Regulasi dan Kolaborasi
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah dan instansi terkait tidak tinggal diam. Saat ini, pemerintah berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan untuk meningkatkan literasi keuangan dan memperluas infrastruktur digital melalui berbagai kebijakan dan program.
Mohammad Rudy Salahuddin, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital Ketenagakerjaan, dan UMKM Kemenko Perekonomian, menyatakan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menginisiasi beberapa program seperti Literasi Digital Indonesia, Digital Talent Scholarship, dan Digital Leadership Academy untuk mendorong ekonomi digital. Program Digital Talent Scholarship saat ini menargetkan pelatihan gratis untuk 100 ribu peserta di tujuh akademi atau perguruan tinggi.
Kementerian lain seperti Kemenko Bidang Perekonomian juga berkontribusi dengan mengembangkan materi ajar berbasis realitas virtual untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) melalui Reformasi Sistem Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan (TVET). Program ini telah diuji coba di 16 SMK dan 7 provinsi, dan sebanyak 285 guru telah menerima pelatihan berbasis VR.
Bank Indonesia (BI) juga telah menyediakan program edukasi dan pelatihan tentang sistem pembayaran digital kepada masyarakat untuk meningkatkan pemahaman tentang manfaat, cara kerja, dan keamanan transaksi dalam sistem pembayaran digital. Salah satunya adalah program Literasi Keuangan Indonesia Terdepan (LIKE IT), yang merupakan kolaborasi antara BI, OJK, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang tergabung dalam Forum Koordinasi Pembiayaan Pembangunan melalui Pasar Keuangan (FKPPPK). Selain itu, BI secara rutin mempublikasikan materi edukatif seperti panduan penggunaan sistem pembayaran digital, artikel, dan infografis melalui website, media sosial, dan kampanye lainnya.
Selain pemerintah, perusahaan teknologi finansial (Fintech) juga turut berperan dalam mendorong transformasi ekonomi digital. Fintech Indonesia (Aftech) memiliki tiga program untuk mendukung transformasi ini. Pertama, Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menggunakan platform Fintech untuk penyaluran bantuan sosial, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan melalui e-wallet dari Fintech terkait. Kedua, Aftech mendukung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam menciptakan talenta digital Indonesia. Ketiga, Aftech memberikan dukungan program transformasi kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk menerapkan 20 jenis model bisnis BPD dengan penekanan pada aspek teknologi.
Perusahaan asuransi AXA Mandiri juga berkontribusi dalam mengedukasi masyarakat melalui Gerakan Masyarakat Sehat (GERMAS), dengan memberikan wawasan, perencanaan keuangan, dan pelatihan ketrampilan kepada pelaku UMKM.
Dalam skala internasional, pemerintah juga menyuarakan isu literasi dan inkl
usi keuangan, serta pemanfaatan teknologi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 2023. Local Currency Transaction (LCT) menjadi fokus utama dalam pertemuan ini sebagai upaya meningkatkan konektivitas ekonomi di kawasan ASEAN. Pemerintah juga berupaya menjaga stabilitas ekonomi keuangan di kawasan dengan menggunakan Local Currency Transaction dan Regional Payment Connectivity Mechanism untuk memperkuat integrasi di kawasan.
Dalam hal pemerataan infrastruktur, Kominfo melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) terus mempercepat proyek pembangunan 7.000 Base Transceiver Station (BTS) 4G, terutama di wilayah 3T, yang dijadwalkan selesai pada 2024.
Bank digital juga semakin banyak berdiri, dan Asosiasi Perbankan Nasional mencatat bahwa sudah ada 30 juta pengguna pembayaran digital Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) di Indonesia.
Dalam mewujudkan transformasi ekonomi digital, kolaborasi dan regulasi yang efektif dari pemerintah sangat penting agar harapan transformasi ekonomi digital dapat terwujud.(*)
Berita ini sudah dimuat di ANTARANews.com dengan judul Kolaborasi untuk mengembangkan transformasi ekonomi digital Indonesia