Jakarta, tiradar.id – Dalam sejarah manusia, setan seringkali dianggap sebagai pencabut kebaikan dan penjerumus manusia ke dalam dosa dan kesalahan. Namun, zaman kini membawa godaan baru yang tak kalah merusak, yakni godaan utang. Dalam segala bentuk rupa dan perwujudannya, utang telah menjadi godaan yang memikat generasi muda untuk mengaksesnya tanpa pertimbangan finansial yang memadai. Ironisnya, dampaknya tidak hanya berhenti pada aspek ekonomi, tetapi juga merambah ke dalam kesehatan mental dan hubungan sosial.
Zaman dahulu, manusia berdoa untuk terlindungi dari godaan setan. Namun, di era teknologi finansial saat ini, masyarakat dihadapkan pada tawaran utang yang semakin canggih. Berutang tidak lagi mengharuskan tatap muka dengan kreditur, bahkan promosi-promosi menggoda dengan frasa seperti “Jangan terlewatkan!”, “Penawaran terakhir”, dan “Beli saja dulu, bisa bayar nanti” menggoda dengan cara yang sama seperti godaan setan.
Perkembangan teknologi finansial memudahkan transaksi, termasuk berutang. Metode pembayaran paylater dan promo flash sale membuat konsumen tergoda untuk membeli tanpa berpikir panjang. Bagi yang kurang paham literasi keuangan, mudah terjerumus dalam jerat utang yang mengintai.
Generasi Z dan Milenial, dengan nilai pinjaman daring mencapai triliunan rupiah, menjadi kelompok rentan. Survei menunjukkan bahwa sekitar 13,8% dari generasi ini menggunakan layanan paylater, jumlah yang lebih besar daripada penggunaan kartu kredit. Bahkan, banyak dari mereka mengalami kesulitan melunasi utang, dengan rata-rata kredit macet mencapai 2,8 juta rupiah per orang.
Di balik utang ini tersembunyi motif untuk membeli pengalaman dan gaya hidup. Survei menunjukkan bahwa hampir 40% dari generasi milenial menghabiskan uang yang tidak dimilikinya demi gaya hidup dan hubungan sosial. Mereka rela berutang untuk berlibur, pesta, atau bahkan pernikahan.
Namun, berutang tanpa alasan darurat dapat menjadi bencana. Terutama jika itu hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial dan mengikuti tren. Perbandingan dengan teman-teman yang mungkin memiliki kemerdekaan finansial hanya akan menimbulkan tekanan dan gangguan mental.
Penting bagi masyarakat untuk memiliki pendirian dan standar hidup yang realistis. Literasi keuangan menjadi kunci untuk menghindari perangkap utang. Ekosistem bisnis yang ramah utang dan penawaran menarik harus dihadapi dengan bijak. Jika transaksi tidak didasarkan pada prinsip “ada barang ada uang”, maka itu adalah utang.
Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) telah melakukan program literasi untuk mencegah masyarakat jatuh dalam jerat utang pinjol ilegal. Pinjol ilegal tidak hanya mengancam keuangan, tetapi juga memberikan dampak buruk pada kesehatan mental.
Dalam dunia yang semakin kompleks, mengambil langkah sederhana dengan hidup apa adanya dan tidak terjebak dalam tren semu adalah kunci untuk menghindari jerat utang modern. Kecerdasan finansial dan kesadaran akan konsekuensi utang harus menjadi bagian integral dari pendidikan dan pemahaman masyarakat, terutama generasi muda.