Ragam  

Hukuman Mati Ancam Warga Korea Utara yang Menonton Film Asing

A North Korean flag flies on a mast at the Permanent Mission of North Korea in Geneva October 2, 2014. REUTERS/Denis Balibouse/File Photo

Pyongyang, tiradar.id – Menonton film atau drama televisi asing mungkin terlihat sepele di banyak negara, tetapi di Korea Utara (Korut), aktivitas ini bisa berujung hukuman mati.

Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dikutip BBC, Senin (15/9/2025), mengungkap bahwa rezim Kim Jong Un semakin gencar memberlakukan hukuman mati, termasuk untuk pelanggaran terkait penyebaran atau sekadar menonton konten asing.

“Tidak ada populasi lain yang berada di bawah pembatasan seperti itu di dunia saat ini,” tulis laporan PBB.

Eksekusi di Depan Umum

Laporan PBB disusun berdasarkan lebih dari 300 wawancara dengan warga yang berhasil melarikan diri dari Korut dalam sepuluh tahun terakhir. Sejak 2015, setidaknya enam undang-undang baru diberlakukan, memungkinkan hukuman mati untuk berbagai pelanggaran, termasuk konsumsi konten budaya asing.

Sejumlah saksi menyebut eksekusi mati kini kerap dilakukan di depan umum untuk menimbulkan rasa takut. Kang Gyuri, pelarian yang kabur pada 2023, menceritakan ia menyaksikan tiga temannya dieksekusi karena membawa film asal Korea Selatan.

“Dia diadili bersama para penjahat narkoba. Dia diperlakukan sama dengan orang yang melakukan kejahatan narkoba,” ujar Kang.

Selain film asing, Kim Jong Un juga melarang penggunaan bahasa gaul, mengecat rambut, hingga mengenakan legging ketat. Pelanggaran dianggap sebagai pengkhianatan dan dapat berujung hukuman berat.

Harapan yang Pupus

Saat pertama kali berkuasa pada 2011, Kim Jong Un sempat menjanjikan rakyat tak perlu lagi “mengencangkan ikat pinggang.” Namun, laporan PBB menyebut situasi justru memburuk.

Sejak fokus pada program senjata nuklir dan mengurangi diplomasi dengan Barat pada 2019, kondisi ekonomi dan hak asasi manusia di Korut terus menurun. Hampir semua pelarian mengaku kesulitan mendapatkan makanan, dan makan tiga kali sehari dianggap kemewahan. Pandemi COVID-19 memperburuk krisis pangan, sementara pemerintah menindak pasar informal tempat warga berdagang.

Kerja Paksa dan Kamp Penjara

PBB juga menyoroti praktik kerja paksa, di mana warga miskin direkrut ke “brigade kejut” untuk proyek berat seperti konstruksi dan pertambangan. Pekerjaan berisiko tinggi ini kerap berujung kematian, namun pemerintah menyebutnya “pengorbanan untuk Kim Jong Un.”

Pelanggaran HAM terparah terjadi di kamp penjara politik. Setidaknya empat kamp semacam itu dilaporkan masih beroperasi. Mantan tahanan mengaku menyaksikan kematian akibat siksaan, kerja berlebihan, dan malnutrisi.

Pengawasan di perbatasan dengan China juga diperketat, dengan perintah tembak di tempat bagi warga yang mencoba kabur.

Dukungan China dan Rusia

Upaya PBB untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Pidana Internasional masih terhambat. China dan Rusia disebut kerap memveto sanksi baru terhadap Korut sejak 2019.

Pekan lalu, Kim Jong Un menghadiri parade militer di Beijing bersama Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang dinilai sebagai sinyal dukungan kedua negara terhadap kebijakan dan program nuklir Korut.

Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Volker Türk, mendesak Korut menghapus kamp penjara politik, menghentikan hukuman mati, dan memberikan pendidikan HAM kepada rakyatnya.

“Laporan kami menunjukkan keinginan yang jelas dan kuat untuk perubahan, terutama di kalangan anak muda Korea Utara,” kata Türk.