Jakarta, tiradar.id – Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri tengah menelusuri ribuan anggota grup Facebook bernama Fantasi Sedarah, yang diketahui menyebarkan konten bertema inses dan dugaan eksploitasi seksual terhadap anak.
Grup yang diketahui mulai aktif sejak Agustus 2024 ini memiliki sekitar 32.000 anggota. Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Polisi Himawan Bayu Aji, menyampaikan bahwa pihaknya masih mendalami aktivitas serta keanggotaan dalam grup tersebut.
“Grup ini (Fantasi Sedarah) dimulai pada Agustus 2024. Kemudian, kurang lebih ada 32.000 anggota. Saat ini kami masih mendalami,” ujar Brigjen Pol. Himawan dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (22/5/2025).
Brigjen Himawan menjelaskan bahwa penelusuran dilakukan melalui proses uji forensik digital untuk mengidentifikasi perangkat yang digunakan oleh para anggota grup tersebut. Saat ini, grup Fantasi Sedarah telah disuspend oleh pihak platform.
“Harapan kami dari hasil forensik itu, kami bisa melihat anggota grup tersebut,” imbuhnya.
Hingga kini, penyelidikan masih berlangsung. Polri terus melakukan pemantauan serta pemetaan terhadap aktivitas media sosial lainnya, sembari menunggu hasil identifikasi digital dari perangkat yang telah disita.
Dalam kasus ini, Dittipidsiber Bareskrim telah menetapkan enam tersangka yang terlibat dalam penyebaran konten asusila, pornografi, serta eksploitasi anak. Mereka adalah MR, DK, MS, MJ, MA, dan KA. Tersangka MR diketahui sebagai kreator grup Fantasi Sedarah, sementara DK, MS, MJ, dan MA merupakan kontributor aktif dalam grup tersebut. Tersangka KA sendiri merupakan kontributor aktif pada grup lain bernama Suka Duka.
Para tersangka dijerat dengan sejumlah pasal dari berbagai undang-undang, antara lain Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang Perlindungan Anak, serta Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Ancaman pidana bagi para tersangka pun tidak main-main. “Keenam tersangka diancam dengan hukuman pidana penjara 15 tahun dan denda maksimal Rp6 miliar,” tegas Brigjen Pol. Himawan.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang terlibat dalam penyebaran konten menyimpang dan merusak moral masyarakat, khususnya yang melibatkan anak-anak sebagai korban.