Jakarta, tiradar.id – Sejak abad ke-17, keyakinan manusia tentang penyebab beri-beri, penyakit yang menyerang syaraf dan darah, adalah infeksi bakteri telah mengarah pada inovasi dalam pengembangan obat untuk memerangi bakteri tersebut. Namun, pada dua abad berikutnya, keyakinan dan inovasi ini ternyata salah.
Pada tahun 1889, seorang dokter dari Batavia yang kini dikenal sebagai Jakarta, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), mengubah pandangan dunia terhadap beri-beri. Christiaan Eijkman, dari laboratorium rumah sakit militer Weltevreden (sekarang RSPAD Gatot Subroto), melakukan eksperimen yang mengguncang paradigma umum.
Dalam buku “Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia” karya Sejarawan Universitas Sydney, Hans Pols, disebutkan bahwa Eijkman memulai eksperimennya dengan memberi ayam makan beras putih halus. Tak lama kemudian, ayam-ayam tersebut menunjukkan gejala beri-beri. Namun, ketika makanan mereka diganti dengan beras kasar, gejala tersebut menghilang.
Temuan ini menggugah pemikiran Eijkman: ada kandungan dalam beras kasar yang memiliki efek penyembuhan terhadap beri-beri. Hal ini memunculkan dugaan bahwa beri-beri bukanlah hasil dari infeksi bakteri, melainkan kekurangan zat gizi dalam tubuh.
Sayangnya, Eijkman terpaksa meninggalkan penelitiannya pada tahun 1896 dan kembali ke Belanda. Namun, temuannya dipublikasikan dalam jurnal ternama, membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut tentang beri-beri.
Beruntung, ilmuwan di seluruh dunia tertarik pada penelitian Eijkman. Salah satunya adalah Frederick Gowland Hopkins, seorang ilmuwan asal Inggris, yang menemukan bahwa tubuh manusia dan hewan memerlukan zat-zat seperti triptofan, yang terdapat dalam protein. Zat-zat ini tidak dapat diproduksi oleh tubuh sendiri dan harus diperoleh melalui makanan.
Dalam kasus temuan Eijkman, triptofan adalah kunci di balik khasiat penyembuhan beras kasar terhadap beri-beri. Melalui serangkaian penelitian lebih lanjut, zat ini kemudian diidentifikasi sebagai vitamin.
Temuan ini membuka tabir misteri. Beri-beri terbukti bukan karena infeksi bakteri, melainkan akibat kekurangan vitamin. Pada tahun 1929, Eijkman dan Hopkins dianugerahi Nobel dalam bidang kedokteran atas kontribusi mereka. Komite Nobel mengakui bahwa penelitian mereka di Hindia Belanda telah menjadi landasan penting dalam penemuan vitamin.
Temuan ini bukan hanya mengubah paradigma tentang beri-beri, tetapi juga membuka jalan bagi pemahaman lebih lanjut tentang pentingnya nutrisi dalam menjaga kesehatan manusia.
Sumber: CNBC Indonesia