Jakarta, tiradar.id – Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi) nenjadi inovasi dan inisiatif nasional pertama untuk mendorong pemanfaatan data genomik (informasi genetik) sehingga dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit secara tepat dan akurat. Dengan kata lain dapat meningkatkan kualitas hidup orang per orang dengan pembiayan kesehatan yang lebih efektif dan efisien
Direktur Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan, L. Rizka Andalusia menyebut inisiatif ini merupakan bagian dari transformasi kesehatan pilar keenam yakni transformasi teknologi kesehatan dengan memanfaatkan informasi genomik manusia maupun virus dan bakteri. Selama masa Pandemi Covid 19 Pemeriksaan genomik ini yang kita kenal dengan pemeriksaan Whole Genome Sequencing (WGS).
”Ini adalah teknologi terbaru yang dapat membaca informasi genetik manusia, sehingga kita bisa tahu pasti sakit apa, di mana sakitnya, siapa yang sakit. Dengan demikian pencegahan pengobatannya pun nanti akan cepat dan tepat,” kata Dirjen Rizka di Jakarta, Kamis (22/6).
Dirjen Rizka menambahkan semakin cepat kita dapat mendeteksi suatu penyakit maka risiko penularan kepada orang lain dan masyarakat bisa ditekan. Ia mencontohkan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah sejak lama di negara kita adalah TBC. Di Indonesia, kasus TBC cenderung meningkat dari tahun ke tahun, walaupun berbagai upaya sudah dilakukan. Per tahun 2022, sebanyak 824 ribu orang di Indonesia menderita TBC dan diperkirakan sebanyak 93 ribu orang meninggal setiap tahunnya. Menurutnya, langkah cepat dan tepat diperlukan untuk pencegahan, diagnosis dan perawatan untuk menekan kasus TBC utamanya kasus TBC Resisten Obat yang juga terlihat ada peningkatan.
”Kuman Tuberkulosis yang beredar di Indonesia ini mulai resisten terhadap antibiotik yang ada sehingga dokter perlu tahu, pasien ini cocoknya obat apa, kombinasi obatnya yang mana. Kalau resisten obat, kan harus menumbuhkan kuman TBC di laboratarium, dan di Indonesia laboratorium yang bisa melakukan penumbuhan kuman itu sangat terbatas, tidak semua lab yang bisa, saat ini baru 12 Lab yang bisa,” ujar Dirjen Rizka.
Dirjen Rizka menyebut keterbatasan jumlah laboratorium dapat berdampak pada waktu pengobatan pasien yang lebih lama. Karena bila daerah tempat tinggal pasien tidak ada lab, maka harus dikirim ke daerah lain. Adanya WGS akan memangkas waktu tersebut lebih cepat, sehingga pengobatan bisa segera diberikan.
”Sekarang dengan menggunakan pendekatan pemeriksaan ini kita bisa memutus rantai yang tadinya membutuhkan waktu 4 minggu, dalam waktu 1 hari bisa dapat informasi bahwa kumannya itu punya kemungkinan resisten terhadap obat TBC yang ada,” terang Dirjen Rizka.
Dirjen Rizka menyebut melalui BGSi, pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk deteksi dini penyakit dan pencegahan penyakit degeneratif seperti kanker, stroke, jantung, diabetes, hipertensi dan demensia.
Dirjen Rizka merinci saat ini BGSi sudah dilaksanakan di 9 rumah sakit yang menjadi rumah sakit rujukan sekaligus pengampuan nasional yakni RSUPN Cipto Mangunkusumo untuk penyakit metabolik terutama diabetes, RS Dharmais untuk penyakit kanker, RS Pusat Otak Nasional untuk penyakit stroke, RSPI Sulianti Saroso untuk penyakit menular Tuberkulosis, RSUP Persahabatan untuk penyakit menular TB, RS Ngoerah untuk wellness and beauty, RS Sardjito untuk penyakit genetik/penyakit langka, RSJPD Harapan Kita untuk penyakit jantung, serta RSAB Harapan Kita untuk kesehatan ibu dan anak. Seluruhnya telah dilengkapi dengan mesin-mesin sequencing yang mampu memproses ratusan sampel setiap minggu.
”Data-data sequencing ini dikerjakan di Indonesia, tidak ada sampel yang dikirim keluar dari negara ini, semuanya pemeriksaan dan analisis data dilakukan di Indonesia, untuk penyimpanan data, Kemenkes juga bekerjasama dengan BSSN,” kata Dirjen Rizka.(*)