Terkait Kasus Korupsi di Basarnas, Ormas Sipil Menilai KPK Miliki Wewenang

Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda TNI Agung Handoko (kanan) bersama Wakil Ketua KPK Johanis Tanak (kedua kiri) memberikan keterangan kepada wartawan usai melakukan pertemuan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (28/7/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/Spt.

Jakarta, tiradar.id – Menurut sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum dalam taklimat media di Jakarta pada Minggu (30/7), mereka menilai bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang untuk memeriksa kasus korupsi di Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas), meskipun melibatkan dua prajurit aktif TNI.

Menurut perwakilan masing-masing organisasi, masalah yurisdiksi yang muncul dalam kasus tersebut sebetulnya tidak perlu menjadi perdebatan, karena kewenangan KPK memeriksa kasus korupsi di Basarnas sesuai dengan asas-asas hukum, konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dan peraturan perundang-undangan.

Dalam taklimat media tersebut, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, yang juga aktif sebagai dosen salah satu sekolah tinggi hukum di Jakarta, menjelaskan ada tiga asas hukum yang menjamin kewenangan KPK memeriksa kasus korupsi di Basarnas, meskipun melibatkan prajurit TNI.

Baca Juga:  96 Perwira Tinggi TNI Dimutasi, Beberapa Diantaranya Duduki Jabatan Strategis

Usman Hamid menegaskan bahwa UUD 1945 sebagai konstitusi negara membawahi undang-undang di bawahnya, termasuk undang-undang yang mengatur peradilan umum dan peradilan militer. Dia menyebut Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D UUD 1945 yang mengatur kedudukan seluruh warga negara, tanpa terkecuali, memiliki kesamaan kedudukan di muka hukum, termasuk anggota TNI. Menurutnya, tidak ada yang kebal hukum, termasuk anggota TNI, sehingga mereka harus tunduk pada proses hukum seperti warga sipil lainnya.

Lebih lanjut, Usman Hamid menyoroti asas hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Dia mengungkapkan bahwa Undang-Undang Peradilan Militer, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970, dan Undang-Undang TNI Tahun 2004 saling mengesampingkan. Dalam kasus korupsi di Basarnas, menurutnya, yang berlaku adalah hukum yang khusus karena korupsi merupakan tindak pidana khusus, bukan tindak pidana umum. Usman juga menyoroti Pasal 89, Pasal 90, dan Pasal 91 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mengatur tentang perdebatan mengenai yurisdiksi.

Baca Juga:  Menparekraf Sandiaga Uno Rekomendasikan Lima Destinasi Super Prioritas dalam Rapat Sidang Kabinet di IKN

Usman Hamid menyimpulkan bahwa kasus korupsi di Basarnas bukanlah tindak pidana umum, melainkan tindak pidana khusus. Oleh karena itu, tidak perlu lagi diperdebatkan tentang peradilan militer atau peradilan umum, karena kasus tersebut jelas berada dalam ranah peradilan umum berdasarkan hukum yang khusus. Kasus korupsi di Badan SAR Nasional, menurut Usman, bukanlah dalam lingkup terbatas TNI, sehingga tidak seharusnya dibawa ke peradilan militer.(*)

Berita ini sudah dimuat di ANTARANews.com dengan judul Kasus korupsi Basarnas, ormas sipil nilai KPK punya wewenang