Kasus Tri Yanto dan Polemik Pengelolaan Zakat, Antara Whistleblower dan Kriminalisasi

Jakarta, tiradar.id — Penetapan status tersangka terhadap Tri Yanto, mantan Kepala Kepatuhan dan Satuan Audit Internal Baznas Jawa Barat, mengundang perhatian luas publik dan pegiat antikorupsi. Tri dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) setelah dituduh membocorkan dokumen rahasia milik lembaga pengelola zakat tersebut. Namun, alih-alih dianggap melanggar hukum, banyak pihak justru menilai Tri sebagai whistleblower yang seharusnya mendapat perlindungan hukum.

Menurut kepolisian, Tri diduga mengakses, memindahkan, dan menyebarkan dokumen elektronik Baznas Jabar tanpa hak. Ia dilaporkan oleh pejabat lembaga itu ke Polda Jabar pada Maret 2025. Namun dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Tri membantah tuduhan tersebut. Ia menyatakan bahwa dokumen hanya disampaikan kepada pengawas internal Baznas RI dan Inspektorat Jabar sebagai bukti dugaan penyimpangan dana zakat.

Tri mengungkapkan bahwa sejak tahun 2021, ia menemukan kejanggalan dalam laporan keuangan Baznas Jabar. Salah satunya adalah biaya operasional yang melebihi batas maksimal 12,5% dari dana zakat, mencapai hingga 20%. Ia menyebut adanya lonjakan anggaran untuk sewa mobil, peningkatan jumlah karyawan, hingga tunjangan dan perjalanan dinas yang tidak wajar. Total dugaan penyimpangan yang ia catat mencapai Rp9,8 miliar dalam kurun waktu 2021–2023.

Setelah menyampaikan temuannya, Tri justru menerima serangkaian surat peringatan dan akhirnya diberhentikan pada Januari 2023 dengan alasan indisipliner dan efisiensi. Namun ia menduga bahwa pemecatannya lebih karena ketidaksukaan atas keberaniannya membongkar dugaan korupsi.

Baznas Jawa Barat sendiri membantah semua tuduhan tersebut. Mereka menyatakan telah melalui berbagai audit, baik oleh Inspektorat Jabar, Baznas RI, Kantor Akuntan Publik independen, hingga audit syariah oleh Kementerian Agama. Semua audit tersebut diklaim menunjukkan tidak adanya penyimpangan, dengan nilai kepatuhan syariah mencapai 86,73 dan transparansi 87,50.

Meski begitu, sejumlah lembaga seperti LBH Bandung, Indonesia Zakat Watch, dan ICW menilai kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap pelapor dugaan korupsi. Mereka menyoroti pelanggaran terhadap hak atas perlindungan whistleblower sesuai UU No. 13 Tahun 2006 dan Konvensi PBB Anti Korupsi yang telah diratifikasi Indonesia. ICW bahkan mendesak agar kepolisian menghentikan proses hukum terhadap Tri dan meminta KPK turun tangan memberikan perlindungan.

Fenomena ini dinilai sebagai puncak gunung es dari persoalan yang lebih luas: buruknya tata kelola dana zakat di Indonesia. Berdasarkan catatan ICW, sejak 2011 terdapat sedikitnya enam kasus korupsi dana zakat yang merugikan negara hingga Rp12 miliar, melibatkan pengurus Baznas dari berbagai daerah. Salah satu contoh terbaru adalah dugaan penyimpangan Rp4,4 miliar dana hibah di Baznas Kabupaten Tasikmalaya dan kasus korupsi Rp1,2 miliar di Baznas Tanjung Jabung Timur.

Potensi dana zakat di Indonesia yang mencapai Rp300 triliun per tahun seharusnya menjadi kekuatan besar dalam pemberdayaan umat. Namun jika dikelola tanpa akuntabilitas dan transparansi, potensi tersebut justru menjadi ladang penyalahgunaan. Kasus Tri Yanto menjadi cermin bahwa perlindungan terhadap pelapor korupsi masih lemah dan perlu perhatian serius dari pemerintah.

Jika tak ada reformasi sistemik dalam pengawasan zakat serta perlindungan hukum bagi whistleblower, kepercayaan publik terhadap lembaga pengelola zakat akan terus terkikis. Dan lebih dari itu, misi mulia zakat untuk membantu kaum duafa dan mustahik bisa kehilangan ruhnya.

Sumber: BBC Indonesia