MK Putuskan Sistem Pemilu Tetap Terbuka

Tangkapan layar - Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (atas kiri) dalam sidang pengucapan putusan yang disiarkan di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, dipantau dari Jakarta, Kamis (15/6/2023). ANTARA/Putu Indah Savitri/pri.

Jakarta, tiradar.id – Majelis hakim Mahkamah Konstitusi menolak permohonan para Pemohon dalam sidang gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, mengumumkan penolakan permohonan para Pemohon secara keseluruhan dalam sidang di gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat, pada hari Kamis.

Dalam persidangan kasus nomor 114/PUU-XX/2022, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyatakan bahwa para Pemohon berargumen bahwa penggunaan sistem proporsional dengan daftar terbuka dalam pemilihan umum telah mengganggu peran partai politik.

“Sang Pemohon berusaha menegaskan bahwa selama Pemilihan Umum 2009 hingga 2019, partai politik kehilangan peran sentralnya dalam kehidupan demokrasi,” kata Saldi Isra.

Menurut Mahkamah, seperti yang diteruskan oleh Saldi Isra, argumen para Pemohon yang mengacu pada Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menjadikan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, dianggap berlebihan secara logika.

“Karena hingga saat ini, partai politik masih memiliki peran sentral dan otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan calon,” kata Saldi Isra.

Baca Juga:  Kemekominfo Terus Berkomitmen untuk Berantas Judi Online di Indonesia

Terkait kekhawatiran calon anggota DPR/DPRD yang tidak sesuai dengan ideologi partai, Saldi Isra menjelaskan bahwa partai politik memiliki peran sentral dalam memilih calon yang dianggap mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik tersebut.

Sementara itu, tentang kemungkinan terjadinya politik uang dalam sistem pemilu proporsional terbuka, Saldi Isra menyatakan bahwa praktik politik uang dapat terjadi dalam berbagai sistem pemilihan umum.

“Misalnya, dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup, praktik politik uang sangat mungkin terjadi antara elit partai politik dan calon anggota legislatif yang berusaha dengan segala cara untuk memperebutkan nomor urut calon agar peluang terpilihnya semakin besar,” kata Saldi Isra.

Oleh karena itu, menurut Saldi Isra, praktik politik uang bukanlah dasar yang tepat untuk menuduh sistem pemilihan umum tertentu.

Saldi Isra menegaskan bahwa argumen-argumen para Pemohon, seperti distorsi peran partai politik, politik uang, tindak pidana korupsi, dan keterwakilan perempuan, tidak hanya disebabkan oleh sistem pemilihan umum tertentu.

Baca Juga:  Abdee Slank Resmi Mundur dari Komisaris Telkom Usai Dukung Ganjar-Mahfud

“Karena setiap sistem pemilihan umum memiliki kekurangan yang dapat diperbaiki tanpa mengubah sistemnya,” kata Saldi Isra.

Menurut Mahkamah, seperti yang diungkapkan oleh Saldi Isra, pemilihan umum dapat diperba

iki dan disempurnakan dalam berbagai aspek, mulai dari sistem kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hak dan kebebasan berekspresi, hingga representasi kepentingan dan aspirasi masyarakat oleh partai politik.

“Oleh karena itu, argumen para Pemohon yang menyatakan bahwa sistem proporsional dengan daftar terbuka bertentangan dengan UUD 1945 tidak memiliki dasar hukum secara keseluruhan,” kata Saldi Isra.

Sidang ini dihadiri oleh delapan orang hakim konstitusi, sedangkan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams sedang menjalankan tugas di luar negeri, seperti yang dijelaskan oleh Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, kepada wartawan di Jakarta pada hari Kamis.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang berkaitan dengan sistem pemilihan umum proporsional terbuka, dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada tanggal 14 November 2022.

Baca Juga:  Anies Ajak Mantan Dirut KAI dan Menhub Ternyata untuk Ini

Enam orang yang menjadi pemohon adalah Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).

Delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI menyatakan penolakan terhadap sistem pemilihan umum proporsional tertutup, yaitu Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi, yaitu PDI Perjuangan, yang menginginkan sistem pemilihan umum proporsional tertutup.

Berita ini sudah dimuat di ANTARANews.com dengan judul MK putuskan sistem pemilu tetap terbuka