Jakarta, tiradar.id – Yenti Garnasih, Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), mengungkapkan bahwa siapa pun yang membuat dan menyebarkan berita bohong (hoaks) tentang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di media sosial (medsos) dapat dihukum secara pidana.
“Ada undang-undang yang berlaku tergantung pada konten hoaks yang terkait, apakah itu berupa fitnah, penghinaan, pornografi, atau pemalsuan data, baik dalam bentuk daring atau tidak daring, semuanya diatur dalam undang-undang,” ungkap Yenti saat dihubungi oleh ANTARA pada hari Rabu.
Yenti menyatakan bahwa tidak hanya berpotensi melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), setiap bentuk kekeliruan dalam konten yang berkaitan dengan Pilpres secara jelas juga termasuk dalam lingkup UU Tindak Pidana Pemilu.
“Dan hal tersebut bahkan memiliki proses hukum yang cepat dan memiliki pengadilan khusus sendiri,” jelas Yenti.
Sebagai seorang wanita yang telah berkecimpung di bidang hukum tindak pidana selama lebih dari 35 tahun, Yenti menyatakan bahwa selain pemerintah yang memiliki peran dalam mendidik masyarakat tentang aturan hukum penyebaran hoaks, para ketua partai juga bertanggung jawab untuk mendidik kader-kader mereka.
Yenti mengungkapkan bahwa para kader partai, terutama yang baru bergabung, sering kali menjadi pelaku dalam penyebaran konten hoaks menjelang pemilu, yang berpotensi menyebabkan perpecahan dalam masyarakat.
“Seolah-olah mereka tidak tahu bahwa ada undang-undang yang mengaturnya. Ini merupakan kurangnya pendidikan politik yang buruk. Ketua partai harus memberikan edukasi bahwa aturan-aturan ini ada,” tambahnya.
Lebih lanjut, Yenti, yang telah meraih gelar magister dari Universitas Indonesia dan gelar doktor dalam bidang hukum dari Universitas Trisakti, juga menyebut bahwa Indonesia telah memiliki patroli siber yang dijalankan oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, untuk mengawasi pelanggaran hukum yang terkait dengan penyebaran hoaks di media sosial.
Menurut Yenti, patroli siber memiliki peran penting dalam memberikan efek jera kepada pembuat dan penyebar konten hoaks tersebut.
“Negara juga harus sadar dan memiliki tanggung jawab untuk memberikan pendidikan atau edukasi kepada masyarakat. Tidak perlu langsung menghukum dengan penjara, tapi mereka perlu diberi peringatan dan tidak boleh dibiarkan,” jelas Yenti.
Berdasarkan survei Kementerian Komunikasi dan Informatika, indeks literasi digital masyarakat Indonesia masih berada pada angka 3,49 dari skala 5. Angka ini belum mencapai kategori yang baik.
Kurangnya literasi digital menjadi salah satu penyebab munculnya konten hoaks di dunia maya dan memicu perpecahan di antara masyarakat, terutama menjelang pemilu seperti yang terjadi pada Pemilu 2019.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia juga pernah menyatakan bahwa menjelang pemilu, berita hoaks umumnya menyebar 6 kali lebih cepat dari sebelumnya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika juga mengungkapkan bahwa hingga Rabu, 4 Januari 2023, mereka telah menangani 1.321 konten hoaks dengan konteks politik di media sosial. (*)
Berita ini sudah dimuat di ANTARANews.com dengan judul Sebar hoaks terkait Pilpres 2024 di medsos bisa dijerat hukum