Subang, tiradar.id — Sengketa lahan antara petani di Kelurahan Dangdeur dan Parung, Kecamatan Subang, Kabupaten Subang, Jawa Barat, dengan Kementerian Pertanian RI kembali mencuat ke permukaan. Lembaga Advokasi Rakyat untuk Nusantara (ARUN) Kabupaten Subang melaporkan kasus tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta, pada Kamis (5/6/2025), guna meminta perlindungan hukum bagi para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani “Bina Tani Mandiri”.
Rombongan ARUN diterima langsung oleh Komisioner Komnas HAM, Saurlin Siagian. Dalam pertemuan tersebut, Ketua ARUN Subang, Hengki Parningotan Napitupulu, menyampaikan permohonan perlindungan hukum dan hak asasi manusia atas dasar sengketa lahan yang kini berhadapan dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.
Hengki menjelaskan bahwa tanah yang disengketakan telah dikelola masyarakat sejak 1942. Bahkan pada periode 1960–1964, Pemerintah Kabupaten Subang secara resmi memberikan izin pengelolaan lahan tersebut untuk pertanian melalui surat ijin menggarap (Skredis) dari Agraria DT I Jawa Barat. Namun, pada tahun 1975, izin tersebut tiba-tiba dicabut tanpa kejelasan.
Pada tahun 1985, terbit sertifikat Hak Guna Pakai (HGP) atas nama Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, meskipun tanah tersebut tetap dikelola oleh masyarakat hingga akhir 1990-an. Sejak tahun 1999, lahan tersebut mengalami beberapa kali penyewaan kepada pihak ketiga, termasuk PT Indofood dan PT Moreli Makmur, yang berujung pada penebangan tanaman milik petani. Meski begitu, masyarakat tetap berjuang untuk mengelola lahan yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Tahun 2014, DPRD Kabupaten Subang mengeluarkan Keputusan Nomor 07 Tahun 2014 yang menegaskan agar lahan tersebut dikembalikan kepada masyarakat penggarap. Namun, konflik kembali memanas pada April 2025 ketika petani menerima somasi dari Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang yang memerintahkan mereka untuk meninggalkan lahan dalam waktu tujuh hari.
Puncaknya, pada 2 Juni 2025, para petani diundang dalam sosialisasi Program Percepatan Peningkatan Produksi Susu dan Daging Nasional (P2SDN). Dalam acara tersebut, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan memaparkan rencana pembangunan fasilitas bibit unggul sapi yang akan dibangun di lahan yang saat ini dikelola oleh petani, bekerja sama dengan TNI.
Kelompok Tani “Bina Tani Mandiri” dengan tegas menolak rencana tersebut. Mereka menilai bahwa pembangunan fasilitas tersebut tidak hanya akan menghilangkan mata pencaharian mereka, tetapi juga berpotensi merusak lingkungan. Selain itu, mereka merasa sosialisasi yang dilakukan cenderung intimidatif karena kehadiran sejumlah pejabat yang tidak relevan.
ARUN pun meminta Komnas HAM untuk turun tangan memberikan perlindungan atas hak-hak dasar petani, termasuk hak atas tanah dan rasa aman. Mereka juga meminta agar Komnas HAM memediasi antara masyarakat dengan pihak pemerintah demi tercapainya solusi yang adil, transparan, dan tidak merugikan masyarakat kecil.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa persoalan agraria masih menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia, khususnya dalam memastikan bahwa pembangunan tidak mengorbankan hak-hak rakyat kecil yang telah lama bergantung pada tanah sebagai sumber kehidupan mereka.
Penulis: Endang Sukendar