Sidoarjo, tiradar.id — Suasana sore di Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, berubah menjadi kepanikan dan duka mendalam ketika lantai atas bangunan pesantren runtuh menimpa musholla di bawahnya, Senin (29/9). Dentuman keras terdengar sesaat setelah adzan Ashar berkumandang, disusul jerit santri dan kepulan debu tebal yang menutup pandangan.
Dalam hitungan detik, suasana khusyuk ibadah berubah menjadi bencana. Lebih dari seratus santri yang tengah beraktivitas di musholla tertimpa reruntuhan. Seorang santri bernama Wahid menuturkan, sesaat sebelum kejadian ia mendengar bunyi retakan dari atas. “Bangunan bergoyang, lalu bagian ujung musholla ambruk dan merembet cepat,” katanya. Ia sempat menyelamatkan diri sambil berteriak agar teman-temannya ikut keluar, namun tidak semua sempat mengikuti langkahnya.
Air Mata di Pagar Pesantren
Tak lama setelah kejadian, halaman pesantren dipenuhi keluarga santri. Wajah-wajah cemas menanti kabar, sebagian menggenggam tasbih sambil terus berdoa. Tangisan pecah ketika nama-nama korban dibacakan. Beberapa ibu jatuh pingsan, sementara yang lain menangis lega karena putranya ditemukan selamat meski terluka. Pagar pesantren seolah berubah menjadi “tembok air mata” tempat duka dan doa berpadu.
Kabar ambruknya pesantren ini cepat menyebar dan menarik perhatian luas, bahkan media internasional turut meliput. Dunia menoleh ke Buduran — ke sebuah pesantren tua yang kini menjadi lokasi bencana kemanusiaan.
Evakuasi Manual di Tengah Risiko
Tim penyelamat gabungan dari Basarnas, BNPB, BPBD, TNI/Polri, Tagana, hingga relawan segera dikerahkan. Proses evakuasi berlangsung sangat sulit karena struktur bangunan yang rapuh. Petugas membuat lorong sempit berdiameter 60 sentimeter untuk menjangkau korban di bawah reruntuhan beton.
“Lokasinya sangat berisiko. Kami harus masuk manual, bahkan merayap tiga jam menembus sisa bangunan,” ujar Direktur Operasi Basarnas, Yudhi Bramantyo, di posko darurat.
Hingga malam hari, evakuasi tetap berlanjut di bawah sorotan lampu dan debu tebal. Setiap korban yang ditemukan — hidup ataupun meninggal — disambut doa lirih dari para petugas dan keluarga.
Pesantren Seabad, Diuji Tragedi
Pesantren Al-Khoziny bukan lembaga baru. Didirikan pada 1920 oleh KH Khozin, ulama kharismatik menantu pendiri Pesantren Siwalan Panji, lembaga ini telah lebih dari seabad menjadi pusat pendidikan agama di Sidoarjo. Ribuan santri telah menimba ilmu di sini.
Namun, sejarah panjang itu kini diuji oleh kelalaian manusia. Dugaan sementara menunjukkan adanya kesalahan struktur bangunan: beban lantai atas tidak seimbang dengan daya dukung tiang penyangga. Aktivitas pembangunan lantai atas yang belum rampung diduga mempercepat ambruknya bangunan.
Seruan Perbaikan dan Evaluasi
Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan, tragedi ini menjadi peringatan keras agar seluruh lembaga pendidikan memperhatikan aspek teknis pembangunan. “Banyak pesantren dibangun swadaya tanpa pengawasan teknis memadai. Ini saatnya kita introspeksi agar keselamatan santri menjadi prioritas,” ujarnya.
Hingga Sabtu (4/10) malam, total korban mencapai 124 orang, dengan rincian 104 selamat, 20 meninggal dunia, dan 48 lainnya masih tertimbun. Proses identifikasi korban yang belum terdata masih dilakukan di sejumlah rumah sakit di Sidoarjo, Surabaya, dan Mojokerto.
Solidaritas dan Harapan
Di tengah duka, solidaritas warga meluas. Relawan dari berbagai daerah berdatangan, dapur umum didirikan, bantuan logistik mengalir tanpa henti. Kelompok lintas iman dan mahasiswa ikut turun tangan membantu penyelamatan.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyampaikan belasungkawa mendalam dan memastikan seluruh biaya perawatan ditanggung pemerintah. Ia menegaskan, “Tragedi ini harus menjadi momentum memperkuat pengawasan pembangunan lembaga pendidikan, agar santri belajar dengan aman.”
Tragedi Buduran bukan hanya kisah runtuhnya bangunan, tetapi juga runtuhnya rasa aman di ruang belajar. Dari puing-puing Al-Khoziny, publik menuntut tanggung jawab dan perubahan: agar tak ada lagi doa yang terputus karena kelalaian manusia.


