Ragam  

Mengatasi Tantangan Stigma dan Diskriminasi Pasien Penyakit TBC

Jakarta, tiradar.id – Penyakit Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan global yang signifikan, namun di tengah upaya pengobatan dan pencegahan, tantangan stigma dan diskriminasi yang dialami oleh para pasien TB masih menjadi hambatan utama. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi, dalam sebuah webinar yang berjudul “TB-CAPS: Together Reducing Tuberculosis Stigma”, yang diadakan pada hari Kamis.

Imran Pambudi menyoroti bahwa stigma dan diskriminasi yang terkait dengan penyakit TB sering kali mencegah pasien untuk memulai atau menyelesaikan pengobatan. Ia menjelaskan bahwa banyak pasien yang enggan mencari pengobatan karena merasa malu atau takut dicap sebagai penderita penyakit tersebut. Stigma ini perlu ditangani dengan serius melalui kerja sama yang melibatkan tidak hanya petugas kesehatan, tetapi juga sektor-sektor lain termasuk komunitas.

Baca Juga:  Inilah Pentingnya Menjaga Kebersihan Botol Air yang Bisa Digunakan Berulang Kali

Kekurangan pengetahuan tentang TB di kalangan masyarakat dan petugas kesehatan juga menjadi penyebab stigma. Pada beberapa kasus, pasien bahkan dapat menstigma diri mereka sendiri. Imran menegaskan pentingnya perilaku kesadaran dari petugas kesehatan untuk tidak menstigma pasien TB.

Salah satu bentuk stigma yang berkembang terkait penyakit TB adalah anggapan bahwa ini adalah penyakit yang hanya dialami oleh masyarakat tidak mampu secara finansial. Imran juga mengungkapkan bahwa pasien TB sering kali mengalami kesulitan dalam mengakses layanan pengobatan yang berkualitas. Untuk mengatasi ini, Imran mendorong adanya umpan balik dari masyarakat terhadap layanan TB yang disediakan oleh pemerintah.

Selain itu, terdapat tantangan lain dalam mengatasi penyakit TB, seperti masalah dalam mengakses layanan pengobatan yang berkualitas. Imran mengusulkan pembuatan lingkungan yang bersahabat bagi para pasien agar mereka dapat menyelesaikan pengobatan dengan baik.

Baca Juga:  Revisi Permendag Atur Perbedaan Perizinan e-Commerce dan Social Commerce

Dalam aspek pengobatan, durasi pengobatan yang cukup lama juga menjadi halangan, karena hal ini dapat membuat pasien kehilangan pekerjaan atau penghasilan. Imran berharap bahwa di masa depan, akan ada pengobatan yang lebih singkat, mungkin hanya berlangsung selama dua bulan, sehingga pasien dapat pulih lebih cepat dan kembali beraktivitas.

Melihat laporan Global TB tahun 2022, terungkap bahwa kelompok usia produktif, terutama di rentang usia 25 hingga 34 tahun, memiliki jumlah kasus TB yang signifikan. Di Indonesia, kelompok usia produktif yang paling terdampak adalah usia 45 hingga 54 tahun.

Baca Juga:  6 Makanan untuk Mengatasi Baby Blues Syndrome

Upaya mengatasi penyakit TB tidak hanya melibatkan aspek medis, tetapi juga perlu fokus pada mengurangi stigma dan diskriminasi yang dialami oleh para pasien. Dengan edukasi yang tepat dan kerja sama dari berbagai sektor, diharapkan stigma terhadap penyakit TB dapat berkurang, sehingga para pasien merasa lebih nyaman untuk mencari pengobatan dan mengatasi penyakit ini.

Sumber: ANTARA.com